Selamat siang kawans,,,Salam jalan2...!!
Kemarin tanggal 20 September 2015 ketemu salah satu kawan di Lapangan Banteng Jakarta, dia cerita katanya kepingin wisata ke Kampung Baduy Dalam, jadi saya carikan dokumen foto di external hardisk niih, dan ketemu file2 foto ketika saya dan kawan2 Jalan2 ke Kampung Baduy Dalam tgl 13 -14 Juni 2015.
Kenapa pada tertarik ke Baduy Dalam siy ??? Gak tahu kenapa yang sebenarnya, tapi contohnya saya dan anak2 saya, sekali ke Baduy Dalam rasanya nyaman banget dan pingin ke sana lagi. Mungkin karena lingkungan alamnya yang indah di pegunungan, orang2nya yang ramah serta budayanya yang sangat berbeda dengan kita orang kota ya ??? Mereka sangat patuh kepada petuah leluhurnya.
Bagi masyarakat Baduy Dalam yang menganut kepercayaan
Sunda Wiwitan, amanah leluhur adalah segala-galanya. Bila tak mentaati, mereka akan terkena sanksi adat hingga dikeluarkan dari Baduy Dalam. Kampung Baduy Luar adalah kampung yang dihuni oleh warga Kampung Baduy Dalam yang melanggar atau karena mereka memang sengaja pindah ke Kampung baduy Luar karena ingin modernisasi.
Baiklah, barangkali ada teman2 yang mau ke Kampung Baduy Dalam juga, saya mau share perjalanan saya kesana ya ? Saya tinggal di Jakarta, sehingga untuk menuju lokasi lebih praktis dimulai dari Stasiun Kereta Api Duri (sesudah stasiun Tanah Abang dari arah Bintaro). Kami bersama-sama rombongan menetapkan meeting pointnya disini. Kenapa praktis, karena jam keberangkatan kereta api menuju Rangkas Bitung bisa lebih pagi dibanding stasiun lainnya, dan hampir tiap jam ada jadwal menuju ke Rangkas Bitung.
Tiket kereta api menuju Rangkas Bitung Rp 8,000,-. Kita menggunakan kereta lokal kelas ekonomi namun menggunakan AC, jadi masih lumayan dingin, kurang lebih 2jam kami sampai di Stasiun Rangkas Bitung.
Sehabis dari sini, kami lanjutkan perjalanan lagi dengan menggunakan angkot (semacam mobil minibus) menuju Ciboleger, terminal angkot letaknya ada di belakang stasiun Rangkas Bitung, jadi kami tinggal jalan kaki saja menyeberangi rel2 kereta api menuju terminal. Ketika itu ongkos angkot menuju Ciboleger Rp. 15.000,-.
Nah jika kita kesananya rombongan, bisa minta tolong orang Baduy Luar untuk mencarikan sewa angkot PP, ketika itu sewa angkot sekitar Rp. 1.000.000,- Jadi usahakan bareng2 kawan sebanyak-banyaknya agar sewa angkot bisa di tanggung sama2, namun paling hanya muat 15 orang per angkotnya.
Kurang lebih 2 jam juga kami sampai ke Ciboleger, yang merupakan pintu gerbang masuk ke perkampungan Baduy Luar. Untuk yang mau bawa kendaraan sendiri juga bisa, mobilnya bisa dititipkan ke terminal Ciboleger atau penduduk setempat, kita bisa parkir di sekitar tugu selamat datang ini.
Untuk menuju ke perkampungan bisa minta tolong warga Baduy Dalam yang sudah pada standby di sekitar terminal ini, sekaligus bisa juga di berdayakan sebagai pengangkut barang (porter). Kita hanya kasih tips sukarela untuk mereka, tetapi sebaiknya bertanya ke yang sudah pernah menggunakan jasa mereka, berapa tips yang layak. Untuk tips porter saya minta rp. 20.000,- per peserta, kemudian nanti dari uang yang terkumpul dibagi rata ke jumlah porter. Untuk guide orang Baduy menyesuaikan, minimal Rp.100.000,-
Biasanya jumlah porter menyesuaikan jumlah barang2 yang kita bawa, karena biasanya kami bawa sembako untuk makan malam bareng bersama mereka. Pilihlah porter dengan kostum seperti foto di atas, mereka adalah orang Baduy Dalam yang sengaja turun untuk mencari penghasilan. Wajahnya cakep2 ya meski mereka sederhana dalam berpakaian. Yaaa inilah pakaian adat mereka warga Baduy Dalam, kain sarung hitam, kemeja dan ikat kepala putih. Sebelum naik ke kampung Baduy Dalam kami makan siang dan sholat terlebih dahulu di warung tempat kami makan, guide dan porter juga kami yang mentraktir makan siangnya.
Kalau sudah di kampung Ciboleger, kita mulai jalan kaki, pelan2 saja, karena sampai di Baduy Dalam diperkirakan bisa memakan waktu 4-6 jam, jalanan juga naik dan turun karena bakal ada 3 bukit yang harus kita lalui. Untuk antisipasi dehidrasi, bawalah air mineral yang cukup, dan usahakan di bawa sendiri supaya begitu kita kehausan langsung saja meminumnya, tidak harus mencari-cari porternya.
Kayu sepenggalah ini sangat membantu kita untuk menaiki bukit. Untuk mendapatkannya bisa dibeli di pasar Ciboleger, dengan harga Rp. 3.000,- per batangnya.
Yaaaa,,,,ternyata Suku baduy Dalam menghuni bukit2 di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota
Rangkasbitung. Ketinggiannya kurang lebih 300 – 600 m di atas permukaan lautdengan topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah
rata-rata mencapai 45%, jika malam dingin karena suhu rata-ratanya sekitar 20°C. Jadi bawalah kaos kaki dan baju hangat.
Di Baduy Luar hampir setiap rumah punya alat tenun, ibu2 warga Baduy melakukan kegiatan menenun sehari-harinya sedangkan bapak2nya berkebun di pekarangan. Kain tenun ini beraneka ragam coraknya, kalau sudah menjadi kain bisa dijual dengan harga mulai Rp. 200,000,-an, kalau syal / ikat leher dengan harga Rp. 40.000,-
Bentuk padinya seperti ini, tangkai bulirnya panjang2 karena di tanam di pekarangan. Selain padi mereka juga berkebun dengan menghasilkan kopi dan umbi-umbian. Ketiga jenis inilah yang menjadi
komoditas yang paling sering ditanam oleh masyarakat Baduy. Namun dalam praktek berladang dan bertani, Suku Baduy tidak menggunakan
kerbau atau sapi dalam mengolah lahan mereka. Hewan berkaki empat selain
anjing sangat dilarang masuk ke perkampungan demi menjaga kelestarian
alam.
Bentuk rumahnya seperti ini, unik kan ? Terdapat 3 ruangan dalam rumah adat Baduy dengan fungsinya yang berbeda-beda. Bagian depan difungsikan sebagai ruang penerima tamu
dan tempat menenun untuk kaum perempuan. Bagian tengah berfungsi untuk
ruang keluarga dan tidur, dan ruangan ketiga yang terletak di bagian
belakang digunakan untuk memasak dan tempat untuk menyimpan hasil ladang
dan padi. Semua ruangan dilapisi dengan lantai yang terbuat dari
anyaman bambu. Sedangkan pada bagian atap rumah, serat ijuk atau daun
pohon kelapa.
Inilah bagian luar dari rumah Suku Baduy, mereka baik2, ketika kami lewat di depan rumah mereka langsung disediakan minuman dan makanan kecil berupa pisang masak. Kami tidak malu2 untuk meminum dan menyantapnya. Mungkin mereka tahu kalau kami pasti kehausan karena baru saja melewati jalan yang menanjak.
Yaaaa kalau masih di Baduy luar jalannya masih enak walau nanjak, karena sudah dibuat undak2an dari batu2 besar. Walau begitu, jika kita ketemu dengan tanjakan dengan kemiringan 45 derajat sungguh sangat mengurang tenaga dan nafas dibuat ngos2an.
Tapi perjalanan ini kami nikmati saja, kita baru sekali naik begini, gimana dengan mereka yang hampir tiap hari naik turun ? Saya lihat para porter tidak pernah menunjukkan wajah murung, mereka menikmati sekali pekerjaannya, walau tas yang kami bawa cukup besar, mereka tidak kelihatan keberatan, bahkan ada yang berlari menaiki tanjakan ini. Sedangkan kaki mereka tanpa alas,,,,luar biasa.
Tidak diperbolehkan menggunakan
kendaraan, alas kaki, alat elektronik, teknologi, sekolah formal, hingga
tidak diperbolehkan mandi memakai sabun dan bahan kimia lainnya merupakan larangan yang harus ditaati warga baduy Dalam.
Dan begitu sampai di jembatan bambu sebagai perbatasan wilayah Baduy Luar dan Dalampun, kami harus mengikuti aturan tersebut. Handphone langsung kami matikan, salah satu porter bilang "ini aturan di wilayah kami, jadi semua harus mematuhinya." Kami menurut saja apa kata mereka, karena kami harus menghormati budaya mereka.
Walau bagaimanapun, wilayah Suku Baduy ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah
daerah Lebak sejak tahun 1990.Jadi Pemerintah pasti berniat untuk menjaga kelestarian Suku Asli di Jawa Barat ini, kita tidak boleh mempengaruhi mereka dengan hal2 yang berbau modern.
Kami dengan porter ngobrol banyak tentang budaya2 mereka, banyak hal2 yang kami ketahui dengan porter ini, nama porternya Herman, cukup keren juga ya ? Kata Kang Herman, kepercayaan masyarakat Baduy Dalam adalah Sunda Wiwitan, masuk ke dalam jenis Animisme/ pemujaan kepada arwah nenek moyang.
Sistem kekerabatan merujuk pada nama ibu, contoh seorang ibu bernama Sarimin maka nama anak
laki-lakinya adalah bisa Saripin, Sarpin¸ atau anak perempuannya Sartin. "Kalau namanya Herman jadi siapa nama Ibunya Kang ?" kang Herman hanya tersenyum saja....ini memang rada spesial Kang Herman ini, namanya sudah modern dan matanyapun juga cokelat, beda dengan yang lain2nya, mungkin inilah salah satu eksotisme Baduy ya ?
Itu dia mereka, Kang Herman, Kang Sarta dan Kang Sanip,,,porter setia kami, mereka sangat bersahabat, hingga anak sayapun suka bercanda dengan mereka.
Ketika kami bertanya kepada mereka perihal uang, berapa paling banyak mereka pegang uang ? Mereka bilang pernah pegang Rp. 20.000.000,-. Uang itu diperoleh dari penjualan hasil2 pertanian mereka, juga kadang2 mereka menjual madu ke luar Baduy. Lalu saya tanya, dimana mereka menyimpan uang tersebut ? Katanya dititipkan ke bank atas nama saudaranya yang ada di Baduy Luar. Masih sangat2 lugu sekali ya mereka ?
Jadi uang mereka tidak dibelikan untuk barang2 mewah atau apapun sebagai tanda "gengsi" mereka.Untuk membedakan strata sosial ataupun tingkat kekayaan warga Baduy
Dalam cukup dilihat dari
jumlah
Leuit atau lumbung padi yang dimilikinya, biasanya diletakkan cukup jauh dari wilayah perkampungan.
Leuit
menjadi tempat menyimpan hasil pertanian warga Baduy Dalam. Bentuknya seperti foto dibawah ini.
Sudah lama sekali kami berjalan namun belum nyampai juga, sudah beberapa kali kami singgah di bebatuan yang ada di pinggir jalan. Haripun sudah semakin gelap, hingga kami siap2 menyalakan lampu senter agar kami tidak terantuk batu ataupun akar2 pohon. Suara2 binatang hutan sudah mulai terdengar, suasana menyeramkan sudah kami rasakan, bagaimana tidak, kan di Baduy Dalam tidak ada penerangan sama sekali ?
Tinggal rombongan ini yang tersisa, kawan2 kami sudah jauh di depan. Sayup2 terdengar suara orang2 tertawa, jangan2 rumah Kang Sapri tempat kami menginap sudah dekat ? Yaaaaa,,,,,rupanya di depan kami adalah kampung Cibeo, salah satu perkampungan terdekat di Baduy Dalam. Alhamdulillah kami sudah sampai. Begitu kotornya badan kami, capai luar biasa, begitu tercium aroma masakan yang masih panas2 agaknya, lapar kami langsung menyerang. Buru2 kami masuk kerumah Kang Sapri, terlebih dahulu cuci kaki dengan menggunakan air yang ada di bambu2 di depan rumah.
Begitu selesai makan kami mandi2 di kali, jangan lupa ya, mandi tidak boleh pakai sabun, odol dan sampo, jadi kami hanya membasahi badan dengan air saja. Untuk mandi sudah disediakan pancuran, disamping kali, namun untuk buang air besar musti turun ke kali bagian ujung, tidak boleh bercampur dengan wilayah kali yang dipakai untuk mencuci alat2 rumah tangga dan bahan2 masakan.
Sehabis mandi kami istirahat sebentar, kami serombongan berada dalam satu ruangan tengah rumah Baduy, tiduran di lantai bambu beralaskan tikar pandan. Sebentar lagi ada sesepuh orang Baduy yang akan datang dan menjelaskan budaya seputar Suku Baduy Dalam. Namun saking capainya, acara tersebut tidak dilakukan secara formil, sambil baring2 kami menanyakan banyak hal yang belum kami ketahui. Secara ringkas hal2 tersebut adalah sebagai berikut :
- Masyarakat Baduy Dalam mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem
nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat.
Kedua sistem tersebut digabung sedemikian rupa
sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk kampung
dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai Jaro Pamarentah, yang ada
di bawah Camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat tertinggi, yaitu “Puun”.
- Masyarakat Baduy dalam sistem perkawinannya Monogami. Laki-laki Baduy tidak boleh beristri lebih
dari seorang dan perkawinan Poligami merupakan suatu hal yang tabu.
- Seorang adik tidak boleh melangsungkan perkawinan sebelum
kakaknya melangsungkan perkawinan (ngarunghal).
- Tidak ada tradisi berhubungan
sebelum menikah (pacaran), pasangan akan langsung dijodohkan. Orang tua
laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan
memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.
- Perceraian hanya
diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah
meninggal.
- Pembagian
waris untuk anak laki-laki dan perempuan terbagi rata.
Harta yang ditinggalkan berupa rumah, perhiasan, uang dan alat-alat
rumah tangga lainnya.
Ketika iseng2 saya tanyakan soal cinta kepada pasangannya kepada Kang Sapri, sambil tersenyum dia bilang "tidak ada istilah cinta apa tidak bu, pokoknya kami harus patuh kepada Puun, apapun yang diputuskan harus dijalankan, kami tidak mengenal sebelumnya dengan isteri kami. Tapi kami harus setia". Ya ampuunnnn,,,lugu sekali mereka, tapi mereka juga punya anak, naluri kali ya ?
Begitulah sekelumit budaya Suku Baduy Dalam, pertemuan yang singkat namun sangat berkesan,,,,
Nah untuk pulangnya, kita bisa ambil jalur yang pendek saja, yaitu jalur Cijahe, dari Cibeo menuju Cijahe bisa ditempuh 2 jam saja, tapi sepanjang perjalanan tidak akan ditemui rumah2 penduduk, full hanya ketemu dengan lahan perkebunan / ladang warga.
Okey kawan....mungkin hanya itu sekelumit budaya Suku Baduy Dalam yang bisa saya sampaikan, lain waktu bisa disambung lagi dengan cerita yang berbeda. Sebelum berpisah dengan saudara2 kami Warga Baduy Dalam, kami sempatkan utk foto bersama di Pos 2 Cijahe.
Love you para porter yang baik hati,,,,
Jangan ragu2 ya kawan,,,datanglah ke Kampung Baduy Dalam, dijamin bakal ketagihan deh,,,!
Indonesia itu indah,,,,,,!!